KEDIRI – Peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh setiap 17 Mei membawa pesan kuat tentang pentingnya literasi dan sejarah penerbitan buku di Indonesia. Namun, sedikit yang tahu bahwa penerbit buku tertua di Tanah Air bukan berasal dari Jakarta atau Surabaya, melainkan dari Kota Kediri, Jawa Timur.
Penerbit tersebut adalah Boekhandel Tan Khoen Swie, yang berdiri sejak 1915, lebih dulu dibandingkan Balai Pustaka milik pemerintah Hindia Belanda yang baru berdiri pada 1917. Pendiri penerbit ini, Tan Khoen Swie, merupakan sosok keturunan Tionghoa yang lahir di Gunung Legong, Wonogiri, pada 1884 dan kemudian hijrah ke Kediri usai konflik rasial di Surakarta.
Dalam buku “Boekhandel Tan Khoen Swie: Agen Kebudayaan Jawa 1915–1963” karya penulis dan sejarawan Wisnu, dijelaskan bahwa kontribusi Tan Khoen Swie terhadap literasi dan intelektualitas masyarakat Jawa tak bisa dipandang sebelah mata. Ia membawa perubahan paradigma dengan mengalihkan pengetahuan eksklusif dari lingkungan keraton ke ruang publik melalui penerbitan buku.
Misi Literasi dari Keraton ke Rakyat
Langkah revolusioner Tan Khoen Swie bermula dari kedekatannya dengan pujangga Keraton Surakarta, Ki Padmosusatra. Ia meminta sang pujangga untuk menuliskan ajaran dan naskah-naskah Jawa klasik agar bisa diterbitkan dan dibaca masyarakat umum. “Biasanya pengetahuan itu kan adanya dalam keraton, namun Tan Khoen Swie ingin membuat hal itu bisa dibaca masyarakat umum,” jelas Wisnu saat diwawancarai, Sabtu (27/7/2024).
Selain Ki Padmosusatra, penerbit Tan Khoen Swie juga menggandeng sejumlah penulis seperti R. Tanojo dan Mangoenwidjaja. Melalui mereka, sejumlah naskah klasik seperti Ardjunawiwaha, Weda Tama, Nitik Keraton, Pati Tjentini, dan Pramanasidi berhasil diterbitkan dan beredar luas.
Kediri, Kota Sastra yang Terlupakan
Awal abad ke-20, Kediri menjadi magnet bagi para pujangga dan sastrawan. Tan Khoen Swie disebut sebagai tokoh yang membongkar dikotomi antara elit keraton dan masyarakat biasa dalam mengakses ilmu pengetahuan. Menurut Wisnu, misi besar Tan Khoen Swie adalah menjadikan Kediri sebagai pusat peradaban literasi.
“Kerajaan Kediri di masa Raja Jayabaya membangun kekuatan bukan dari politik, tapi dari ilmu pengetahuan dan sastra. Ini mirip Yunani kuno yang membangun peradaban dengan pemikiran,” ungkap Wisnu, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya.
Ia juga menambahkan bahwa pada abad ke-10 hingga ke-11, setidaknya ada 14 naskah adiluhung yang lahir dari era Kerajaan Kediri, menandakan tingginya budaya intelektual di kota tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi fondasi Tan Khoen Swie dalam mengembangkan penerbitan sebagai agen budaya dan pengetahuan.
Warisan Tan Khoen Swie untuk Literasi Indonesia
Lebih dari sekadar bisnis penerbitan, Tan Khoen Swie diyakini menjalankan misi besar dalam memperluas akses masyarakat terhadap pengetahuan. Ia menolak eksklusivitas dan menyadari pentingnya literasi sebagai kekuatan bangsa. Buku-buku yang diterbitkannya tak hanya menyajikan ajaran keraton, namun juga menyentuh filosofi hidup, nilai moral, dan semangat kebangsaan yang kuat.
Hingga kini, peran Tan Khoen Swie masih kurang dikenal oleh publik. Namun berkat dokumentasi dan penelitian dari akademisi seperti Wisnu, peran besar Tan Khoen Swie dalam sejarah perbukuan dan penyebaran literasi di Indonesia perlahan mulai diakui.
Hari Buku Nasional 17 Mei bukan hanya momentum untuk meningkatkan minat baca, tetapi juga menjadi saat tepat mengingat jasa tokoh-tokoh seperti Tan Khoen Swie yang membangun literasi dari Kediri untuk Indonesia.
Leave a Reply