KEDIRI– Tak banyak yang mengetahui tentang nama Tan Khoen Swie. Sosoknya sangat misterius bagi kalangan sejarawan, apalagi masyarakat umum. Padahal, di sisi lain Tan Khoen Swie dinilai mempunyai peran penting di awal abad ke-20, khususnya dalam hal sastra Jawa. Perannya dianggap sangat revolusioner dalam persebaran ilmu pengetahuan di Indonesia.
Dalam buku berjudul “Boekhandel Tan Khoen Swie: Agen Kebudayaan Jawa 1915-1963” karya Wisnu menyebutkan bahwa sepak terjang Tan Khoen Swie jarang mendapatkan perhatian. Padahal, Tan Khoen Swie memiliki peran penting dalam intelektualitas Jawa.
Tak hanya itu, Boekhandel Tan Khoen Swie juga merupakan penerbit buku yang lebih tua dari Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917.
Lahirnya Boekhandel Tan Khoen Swie
Tan Khoen Swie merupakan keturunan Tionghoa yang lahir di Gunung Legong, Wonogiri tahun 1884. Ia memulai kariernya dalam dengan menjadi karyawan penerbit Drukkerijk Sie Dhian Ho di Surakarta. Namun, akhirnya Tan Khoen Swie memilih untuk hijrah ke Kota Kediri. Hal ini disebabkan konflik rasial antara pedagang Jawa dan Tionghoa di firma milik Sie Dhian Ho.
“Kerusuhan itu merupakan pengaruh dari boikot pedagang Tionghoa di Surabaya pada 1912. Firma Sie Dhian Ho berusaha menekan kain batik yang mereka beli dari Lawean. Sehingga, para pedagang di bawah pimpinan Martodharsono melakukan boikot terhadap firma Sie Dhian Ho. Dan menyebabkan perkelahian massal antara anggota Serikat Islam (SI) dengan orang Tionghoa di jalan Surakarta,” tulis Wisnu dalam bukunya Boekhandel Tan Khoen Swie.
Alasan inilah yang membuat Tan Khoen Swie akhirnya pergi ke Kediri untuk mendirikan penerbitan atau Boekhandel Tan Khoen Swie pada tahun 1915.
Membawa Budaya Baca Adiluhung dari Keraton ke Publik
Ketika menjadi karyawan Drukkerijk Sie Dhian Ho di Surakarta, Tan Khoen Swie sempat berkenalan dengan Ki Padmosusatra yang merupakan sastrawan / pujangga dari Keraton Surakarta. Perkenalannya tersebut tidak berhenti hanya di Surakarta, namun Tan Khoen Swie meminta bantuan Ki Padmosusatra untuk menuliskan ajaran-ajaran Jawa yang biasa diajarkan di Keraton Surakarta.
Langkah ini diambil Tan Khoen Swie sebagai upaya untuk menggali naskah yang tersimpan dalam memori masyarakat dan dapat menyajikannya Kembali dalm bentuk buku-buku yang secara bebas dapat dibaca oleh semua lapisan masyarakat.

Tan Khoen Swie
“Biasanya pengetahuan itu kan adanya dalam keraton, namun Tan Khoen Swie ingin membuat hal itu bisa dibaca masyarakat umum,” terang Wisnu saat diwawancarai oktana via telepon, Sabtu (27/7/2024).
Sebagai penerbitan buku, Tan Khoen Swie dinilai Wisnu tidak hanya bermotif ekonomi. Akan tetapi, Tan Khoen Swie juga ingin mengajak masyarakat untuk membiasakan membaca nilai-nilai adiluhung dari keraton tersebut.
Tak hanya meminta bantuan Ki Padmosusastra, Tan Khoen Swie juga menggandeng R. Tanojo dan Mangoenwidjaja untuk membawa naskah keraton untuk diterbitkan Boekhandel Tan Khoen Swie. Beberapa naskah keraton yang diterbitkan Boekhandel Tan Khoen Swie ialah Ardjunawiwaha (Pakubuwono II), Bawa Sagerongipoen (K.G.P.A.A Mangkunegara IV), Weda Tama (K.G.P.A.A Mangkunegara IV), Nitik Keraton (Pakubuwono IV), Pati Tjentini (Pakubuwono V), Pramanasidi (Pakubuwono X), dsb.
Kediri adalah “Yunani-nya” Indonesia
Awal abad 20 Kediri dianggap menjadi jujugan para pujangga atau sastrawan dari berbagai daerah. Mengapa demikian? Wisnu menjelaskan bahwa berdirinya Boekandel Tan Khoen Swie pada tahun 1915 itu membuat para sastrawan membuka mata.
Tan Khoen Swie, kata Wisnu, ingin membongkar Membongkar dikotomi antara keraton dengan masyarakat. Sehingga, naskah adiluhung yang biasa dikonsumsi oleh keraton, dapat dibaca masyarakat secara luas.
Naskah-naskah adiluhung yang dipelajari Keraton Surakarta pada abad 18 dan 19 itu dinilai Wisnu berasal dari Kerajaan Kediri era Raja Jayabaya. Seorang ahli sastra Jawa dari Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud menyebut abad 18-19 merupakan renaisans sastra Jawa di Surakarta.
Menurut Wisnu, ada yang unik antara Kerajaan Kediri dan sastra. Ia menyebut bahwa Kerajaan Kediri memiliki dasar fondasi membangun pemerintahan dengan pengetahuan dan sastra pada zaman Jayabaya. Ajaran-ajaran pengetahuan itu yang menguatkan Kerajaan Kediri di masanya.
“Justru bukan didominasi perpecahan politik, tapi Kediri dibangun kuat dengan pengetahuan dalam bentuk serat-serat kerajaan,” imbuh sejarawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.
Selain itu, Wisnu melihat bahwa Kediri seperti Yunani ketika awal dibangun. Bukan dari kekuatan politik dan otot. Namun, konteksnya Yunani, merupakan pusat budaya, intelektualitas, dan pemikir di Eropa. Kalau memang seperti itu, Kediri juga demikian karena ada 14 naskah adiluhung atau serat yang terbit abad 10-11 zaman Kerajaan Kediri. Hal inilah yang dibawa Tan Khoen Swie dari Surakarta ke Kediri ketika mendirikan bisnis Boekhandel Tan Khoen Swie.
Penulis: Rino Hayyu Setyo
Leave a Reply