JAKARTA – Sutradara Hanung Bramantyo kembali menghadirkan karya terbarunya, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, sebuah film adaptasi dari novel karya Puthut EA. Film ini menawarkan eksplorasi mendalam tentang makna waktu dalam perjalanan cinta dan kehidupan.
Kisah Daku: Ketakutan dan Penantian yang Tak Berujung
Film ini mengisahkan perjalanan Daku (Refal Hady), seorang penulis berbakat yang justru terjebak dalam ketakutannya sendiri. Meski pernah memenangkan sayembara sastra Dewan Kesenian Jakarta, kini ia hanya menulis novel pesanan tanpa gairah.
Ketakutan Daku bukan hanya soal karier, tetapi juga hubungannya dengan Nadya (Nadya Arina). Ia enggan menemui ayah kekasihnya karena tekanan untuk menikah. Saat hubungan mereka berakhir, Daku bertemu dengan Anya (Carissa Perusset), seorang perempuan mandiri, dan Sarah (Mira Filzah), dokter asal Malaysia. Namun, ketakutan terus menghantui langkahnya.
Yogyakarta dalam Sentuhan Hanung Bramantyo
Sebagai sutradara yang memahami seluk-beluk Yogyakarta, Hanung menghadirkan atmosfer khas kota budaya ini dengan autentik. Bukan kafe mewah yang menjadi latar, melainkan tempat-tempat sederhana yang mencerminkan “kegayengan” khas Yogyakarta.
Film ini juga menyoroti bagaimana kenyamanan kota ini bisa menjadi pedang bermata dua. Yogyakarta mendamaikan, tetapi juga bisa membuat seseorang terlena. Hal ini tercermin dalam kebiasaan Daku yang bahkan enggan bangun pagi atau memikirkan masa depan.
Perjalanan Pulang: Simbol Sangkar yang Mengurung
Daku kerap kembali ke kampung halamannya di Rembang, tempat kedua orang tuanya (Slamet Rahardjo dan Dewi Irawan) tinggal. Setiap adegan yang berlatar di sana, Hanung mengubah rasio layar menjadi 4:3, seolah menggambarkan ruang yang semakin menyempit, melambangkan bagaimana Daku terperangkap dalam batasan yang ia buat sendiri.
Tragedi yang menimpa Daku dalam perjalanannya membuatnya sadar bahwa “menunggu waktu yang tepat” sering kali hanyalah alasan untuk menghindari kenyataan. Pada akhirnya, ia belajar bahwa alih-alih menunggu waktu yang tepat, lebih baik ia menghadapi hidup dan mengambil kendali atas masa depannya sendiri.
Akting Memukau Para Pemain
Penampilan Refal Hady sebagai Daku mendapat banyak pujian, terutama dalam membawakan transisi emosional yang kompleks. Dewi Irawan dan Slamet Rahardjo juga memberikan performa luar biasa sebagai orang tua yang penuh kasih, memperkaya dinamika emosional dalam film ini.
Meski memiliki beberapa pesan konservatif yang mungkin terasa kurang relevan dengan perspektif modern, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu tetap menjadi tontonan yang menyentuh. Film ini menghadirkan refleksi mendalam tentang kehidupan, pilihan, dan bagaimana seseorang memaknai waktu dalam perjalanannya.
Leave a Reply