KEDIRI– Gelombang kemarahan mahasiswa menjalar ke daerah-daerah. Setelah ramai penolakan atas RUU Pilkada yang dibahas Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semangat itu menular ke nadi-nadi gerakan mahasiswa di Kota Kediri pada Kamis (22/8/2024) dan Jumat (23/8/2024) siang.
Selama dua hari aksi mahasiswa dan masyarakat sipil menyatakan menolak inisiatif DPR tersebut. Aksi yang berlangsung di gedung DPRD Kota Kediri itu berlangsung mulai pukul 15.00 WIB hingga 18.00 WIB. Mahasiswa menyatakan sikapnya bahwa tidak mempercayai anggota dewan yang tidak bisa menjaga mandat rakyat. Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Sekartaji tersebut mengkritik partai politik hanya membutuhkan masyarakat ketika akan pemilihan legislatif.
Hal ini tercermin poster aksi massa. “Dari rakyat untuk keluarga”. Bahkan, posternya pun ada yang mengutip puisi Gus Mus. “Ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik, rasa kerajaan”. Semua kritik tersebut seolah ditujukan kepada Presiden Joko Widodo yang ingin melanggengkan dinasti politiknya.
Sekitar pukul 16.00, ada empat anggota DPRD Kota Kediri dari tiga partai politik yang menemui massa. Mereka adalah Sudjono, Imam Zakarsyi, Ayyub Wahyu Hidyatullah, dan Bambang Giantoro. Ada 10 tuntutan dari massa mahasiswa untuk DPRD Kota Kediri. Salah satunya ialah melayangkan surat dan membuat pernyataan terbuka di akun instagram resmi milik DPRD Kota Kediri untuk pemerintah agar berhenti melakukan praktik dinasti politik Jokowi.
Pernyataan terbuka itu sayangnya tidak bisa dilakukan keempat anggota dewan. Lantaran, DPRD Kota Kediri belum memiliki akun resmi Instagram.
“Saya hanya bisa mengupload di akun pribadi,” kata Bambang Giantoro di hadapan massa.
Mendengar hal itu, para anggota dewan pun mendapatkan sorakan massa. Para anggota DPRD Kota Kediri mengaku belum terbentuk struktur dan alat kelengkapan dewan. Karena baru saja dilantik pada Rabu (21/8/2024) lalu.
Massa terus mendesak polisi untuk masuk ke kantor DPRD Kota Kediri. Namun, hal tersebut justru menimbulkan aksi dorong. Pasukan polisi pun langsung membubarkan mahasiswa dengan pasukan reaksi cepat. Mahasiswa kocar-kacir dipukuli polisi dan kericuhan tak dapat dihindari. Sempat ada seorang anggota demonstran yang jatuh dipukuli polisi bahkan dibawa ke halaman DPRD Kota Kediri. Untungnya, Saiful Amin, salah satu korlap aksi berhasil membawa pulang dari kepungan polisi.
Kabag Ops Polres Kediri Kota, AKBP Abraham Sissik menyebut bahwa tidak ada sesuatu apapun yang terjadi. Namun, potret mahasiswa sampai bubar karena dikejar-kejar aparat terjadi di Jalan Mayor Bismo, Kota Kediri.
“Diperkirakan tadi 200 mahasiswa. Dari awal kita melayani adik mahasiswa dengan terbaik. Tidak ada sesuatu apapun di luar SOP, undang-undang. Kami dari kepolisian tentu tunduk pada undang-undang. Sehingga 54 (aksi demonstrasi,red) bisa rekan-rekan lihat berlangsung dengan kondusif,” terang AKBP Abraham.

Aksi mahasiswa di depan gedung DPRD Kota Kediri. (Rino Hayyu Setyo)
Alarm dari Kampus tentang Amarah Publik Menjalar ke Daerah
Gelombang kemarahan publik yang merambat sampai ke kota-kota kecil pun dinilai akademisi IAIN Kediri, Taufik Al Amin merupakan hal wajar. Ketidakpuasan publik terhadap RUU Pilkada yang dibahas Baleg DPR RI itu merupakan refleksi nasional.
“Artinya, itu sebagai suatu kritik terhadapa demokrasi yang hanya klaim dari kekuasaan yang membabi buta,” ungkap Taufik.
Dari kacamata sosiologi, Taufik menyayangkan adanya sikap represi terhadap demonstrasi mahasiswa tersebut. Karena fenomena tentang ancaman pelemahan demokrasi sudah di depan mata.
“Nggak perlu represif-lah. Jadi harmoni, harus bisa memberi ruang bagi yang lain. Kalau soal hukum kita harus tunduk. Ini fenomena siosial, karena permainan politik yang tidak demokrasi. Ini mau terancam. Ini sesuatu yg nggak elok, suatu kewajaran, ini refleksi nasional,” katanya.
Ia membandingkan dengan zaman orde baru (orba). Ada terminologi “Damai” yang selalu digaungkan oleh pemerintah. Akan tetapi, hal itu justru menjadi simbol verbal untuk mengekang masyarakat tidak berani berekspresi.
“Harmoni tidak berarti mengekang aspirasi masyarakat. Sebagai perbandingan, zaman orde istilah damai. Artinya harmoni juga jangan sebagai pengekangan. Kemarahan terhadap kondisi ini kewajaran terhadap RUU. Ini perlawanan dengan akal sehat. Aksi demonstrasi itu hanya cara mengekspresikan asalkan tidak anarkis dan tertib,” imbuh Taufik.
Apabila DPR tidak mendengar aspirasi publik, lanjut Taufik, mungkin tidak hanya terjadi perlawanan saja, akan tetapi bisa melahirkan pembangkangan sosial.
Tak hanya Taufik Al Amin, guru besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Wahyudi juga menyoroti gelombang aksi yang terjadi diberbagai daerah. Ia melihat bahwa aksi demonstrasi ini merupakan momentum tepat. Menggunakan kekuatan rakyat dengan tepat, dan akhirnya DPR membatalkan RUU Pilkada. Wahyudi melihat bahwa perlawanan massa kepada pemerintah ini karena sikap sewenang-wenang terhadap rakyat.
“Memang saat rakyat melawan sikap politik pemerintah yang mengabaikan prinsip demokrasi, keadilan, dan hukum harus tidak dipermainkan. Karena sekarang hukum digunakan untuk kepentingan. Tapi rakyat masih curiga jangan jangan ini masih menunda,” ungkap Wahyudi.
Dalam teori gerakan, imbuh Wahyudi, ini bisa disebut sebagai ledakan permusuhan antara rakyat yang menemukan momentum tepat. Ia berharap pemerintah sadar terhadap beberapa kebijakan, keputusan, atau strategi culas.
“Aneh kalau legislatif tidak mendengar, mereka semestinya menjadi penyambung lidah rakyat,” pungkas Wahyudi.
Penulis: Rino Hayyu Setyo
Leave a Reply