SURABAYA – Kebijakan baru pemerintah mengenai pemotongan gaji sebesar 3 persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai penolakan dari banyak pihak, termasuk karyawan di Surabaya.
Seorang karyawan perempuan berinisial SF, yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Surabaya, menyatakan keberatannya terhadap PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
“Saya keberatan. Sebagai generasi sandwich, biaya hidup banyak dan menabung saja sulit. Kalau dapat rumah mungkin ada hikmahnya, tapi bagaimana jika tidak?” ujarnya.
SF juga menyoroti potensi penyalahgunaan dana simpanan. Menurutnya, jaminan keamanan dana tersebut masih diragukan dan kurang relevan jika diterapkan di Indonesia. “Potensi korupsi ada, potensi rugi juga ada baik dalam jangka pendek maupun panjang,” tambahnya.
Dengan gaji UMK Kota Surabaya sebesar Rp4.725.479, pemotongan 3 persen atau Rp141.764,91 per bulan, menurut SF, tidak akan mencukupi untuk membeli rumah di Surabaya dalam waktu 40 tahun, yang hanya mencapai sekitar Rp68 juta. “Nggak nutup. Harga rumah sekarang saja minimal Rp250 juta. Beberapa tahun ke depan tentu harganya akan lebih tinggi,” jelasnya.
SF berharap pemerintah mempertegas kebijakan tersebut, terutama dalam hal implementasinya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Kota Surabaya, H. M. Ali Affandi La Nyalla M. Mattalitti, mengatakan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada pekerja tetapi juga pada pengusaha, karena dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi. “Bagi BUMN dan Polri mungkin tidak terlalu berdampak karena mereka tidak mengalami fluktuasi ekonomi. Tapi bagi sektor swasta, semuanya terkena dampak yang sama,” katanya.
Ali Affandi juga menyebutkan bahwa potongan 3 persen dari gaji untuk Tapera selama 40 tahun kurang relevan dengan harga rumah di masa depan. “Di Australia, seluruh warganya mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 500 juta untuk pembelian rumah pertama. Apakah mekanisme ini relevan dengan kondisi di Surabaya? Situasinya berbeda,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah mengkaji ulang PP Nomor 21 Tahun 2024 dan melakukan sosialisasi lebih lanjut bersama para pengusaha. “Mekanismenya belum jelas. Jika dihitung secara bisnis, potongan 3 persen tidak cukup untuk harga rumah di masa depan. Bentuknya rusun atau apa, kita belum tahu,” tandasnya.
Kebijakan ini masih membutuhkan kajian lebih mendalam dan sosialisasi yang lebih jelas agar dapat diterima oleh semua pihak yang terdampak.
Leave a Reply