Pramoedya Ananta Toer, seorang legenda sastra Indonesia telah menjadi favorit di kalangan kaum muda dalam beberapa tahun terakhir. Terutama setelah novel fenomenalnya, Bumi Manusia, diadaptasi menjadi film oleh Hanung Bramantyo pada 15 Agustus 2019.
Meskipun karya novel yang disangka berkisah tentang Tirto Adi Soerjo itu dipenuhi dengan kisah cinta antara Minke dan Annelies, bagaimana dengan kisah cinta sang penulis sendiri?
Siapa yang akan menduga bahwa Pram, yang dikenal sebagai tahanan politik pada era Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, pernah diasingkan ke Pulau Buru karena tuduhan afiliasi politik dengan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965.
Namun, jauh sebelum diasingkan ke Pulau Buru, Pram telah dipenjara beberapa kali selama agresi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Saat itu, sebagai seorang wartawan setelah mengundurkan diri dari dinas kemiliteran Tentara Republik Indonesia dengan pangkat letnan dua, Pram ditangkap oleh Belanda karena tulisannya yang mendukung perjuangan Republik Indonesia. Akibatnya, Pram dimasukkan ke penjara Bukit Duri.
Kisah ini terungkap saat ia bercerita tentang asmara kepada putrinya, Nenny, pada tahun 1975 melalui surat yang ia tulis yang kemudian dimuat dalam “Jawaban Batin,” yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997).
Kisah cinta Pram dimulai ketika ia melihat seorang gadis di pendopo Kawedanan Cikampek bernama Arvah Iljas. Perempuan itu membuatnya terpesona dengan perawakan kukuhnya, keberaniannya tampil di depan umum, dan sikapnya yang tidak pemalu. Arvah adalah seorang penyanyi.
Namun, saat berada di penjara pada akhir tahun 1948, Pram terkejut mengetahui bahwa salah satu pembesuknya adalah Arvah, cinta pertamanya. Keduanya berkenalan dan semakin dekat. Ternyata, Arvah bekerja sebagai operator telepon di Kantor Pusat Telepon di Gambir. Pram akhirnya melamar Arvah saat jam besuk di penjara.
Pram dibebaskan pada 2 Desember 1949, dan sebulan sebelum usianya yang ke-25 tahun, ia menikahi Arvah pada 13 Januari 1950. Namun, kabar tentang ayahnya yang sakit membuat mereka segera pulang ke Blora. Pram harus mengambil tanggung jawab sebagai anak tertua untuk mengurus adik-adiknya setelah kematian ayahnya.
Keputusan membawa adik-adiknya ke Jakarta memicu konflik dalam rumah tangga Pram dan Arvah. Konflik tersebut semakin memburuk karena tekanan ekonomi yang semakin berat dan sikap Arvah yang cemburu terhadap perhatian Pram terhadap adiknya.
Pram kemudian mendapat tawaran untuk berkunjung ke Belanda untuk pertukaran sastrawan dan penulis antara Indonesia dan Belanda. Di sana, Pram menyadari pandangan negatif warga Belanda terhadap orang Indonesia, yang membuatnya merasa rendah diri dan minder.
Untuk mengatasi perasaan tersebut, Pram terlibat dalam hubungan seks dengan seorang perempuan Belanda yang membuatnya merasa dihargai dan berani. Namun, kehidupan di Belanda tidak membawa perubahan ekonomi yang signifikan bagi Pram.
Ketegangan dalam rumah tangga semakin meningkat, dan perceraian akhirnya tak terhindarkan. Pram kemudian bertemu dengan Maemunah Thamrin pada tahun 1955, yang menjadi pasangan hidupnya yang setia hingga akhir hayat. Maemunah memberikan dukungan penuh kepada Pram dalam menulis serta mengurus lima orang anak mereka.
Kehidupan Pram penuh dengan tantangan dan teror politik, tetapi Maemunah tetap setia mendampinginya hingga akhir hayat, meskipun harus berpisah selama 15 tahun akibat tekanan politik sejak pernikahan mereka.
Leave a Reply