Aeshnina, seorang aktivis lingkungan muda dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur, menyerukan kepada negara-negara Uni Eropa yang menjadi pengirim sampah plastik, seperti Belanda, Jerman, Perancis, Italia, Norwegia, dan Denmark, untuk menghentikan ekspor sampah plastik dan bertanggung jawab atas rehabilitasi dan pemulihan ekosistem yang tercemar akibat aktivitas daur ulang sampah plastik dari Uni Eropa.
“Mikroplastik dan bahan berbahaya pengganggu hormon mencemari sungai Brantas, Kali Porong, dan Kali Surabaya karena daur ulang sampah kertas dan plastik dari Uni Eropa. Oleh karena itu, mereka harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang kita rasakan di Indonesia. Sungguh tidak adil bahwa negara-negara maju mengirimkan sampah kepada negara-negara berkembang untuk diolah,” ungkap Nina saat berbicara di hadapan delegasi negara-negara Uni Eropa. Pernyataan ini disampaikan pada Sabtu sore (27/04/2024) atau Minggu dini hari dalam acara The Social Forum of The Human Right Council yang diselenggarakan di lantai II Ruang 202 Shaw Centre, Ottawa, Kanada.
Society of Native Nations adalah organisasi yang didirikan oleh sekelompok kecil penduduk asli di Texas dengan anggota di banyak negara bagian yang berdedikasi untuk melakukan advokasi bagi masyarakat dan bumi dengan membantu melindungi dan melestarikan budaya, spiritualitas, ajaran, pengobatan, dan cara hidup asli.
Anggota Society of Native Nations terdiri dari berbagai suku Asli Indian Native Amerika, seperti Tongva, Chumash, Borrado, Tewa, Mexica, Navajo, Purepecha, Seneca, Ohlone, Tobotolobal, Nakoda, Lakota, Cherokee, Chichimeca, Choctaw, Mohawk, Lenca, Pipil, Carrizo/Comecrudo, Assiniboine, Coahuiltecan, Kickapoo, A’aninin, Kumeyaay, dan Apache.
Dalam forum tersebut, masing-masing suku yang menjadi anggota Society of Native Nations memaparkan dampak aktivitas industri petrokimia pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Aeshnina Azzahra Aqilani berkesempatan untuk menyampaikan dampak ekspor sampah dari negara maju ke Indonesia. “Bersama River Warrior Indonesia, saya menemukan dampak lingkungan akibat sampah impor dari negara maju, antara lain pembakaran sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang. Sampah plastik ini menyebabkan timbulnya polusi dioksin yang dapat mengganggu pernafasan dan menyebabkan penyakit paru-paru,” ungkap Nina.
Aeshnina menjelaskan bahwa setiap tahun lebih dari 5 juta ton sampah kertas dan jutaan ton sampah plastik didaur ulang di Indonesia. Namun, industri daur ulang tidak memiliki kapasitas pengolahan limbah yang memadai, yang mengakibatkan pencemaran mikroplastik dan bahan tambahan plastik di perairan. Air sungai yang tercemar oleh limbah pabrik daur ulang digunakan sebagai bahan baku air minum dan irigasi untuk ribuan hektar tambak di Sidoarjo.
“Ini tidak adil! Negara-negara maju harus menghentikan pengiriman sampah plastiknya ke Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya di ASEAN. Negara-negara di Eropa tahu bahwa daur ulang itu kotor dan memerlukan energi tinggi dalam prosesnya,” ujar Nina.
Siswi kelas III SMA Muhammadiyah 10 Gresik ini juga menyampaikan fakta bahwa banyak industri daur ulang di Eropa tutup karena biaya yang tinggi dan permintaan yang rendah terhadap plastik hasil daur ulang, karena plastik baru lebih murah.
Aeshnina meminta negara-negara Uni Eropa pengirim sampah plastik, seperti Belanda, Jerman, Perancis, Italia, Norwegia, dan Denmark, untuk menghentikan ekspor sampah plastik dan bertanggung jawab atas rehabilitasi dan pemulihan ekosistem yang tercemar akibat aktivitas daur ulang sampah plastik dari Uni Eropa.
Di akhir acara, Aeshnina menyerahkan surat protes kepada Delegasi Norwegia, Erlend Arneson Haugen, Programme Officer Plastic Pollution Norwegian delegation to the plastic pollution INC Secretariat, High Ambition Coalition to End Plastic Pollution Royal Norwegian Embassy. “Saya akan meneruskan surat ini kepada anggota yang lain,” kata Erlend kepada Aeshnina.
Leave a Reply