YOGYAKARTA– Nama Puthut EA kembali menjadi perbincangan setelah novelnya, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, diadaptasi menjadi film layar lebar oleh Hanung Bramantyo. Sebagai seorang penulis, peneliti, dan aktivis, Puthut EA dikenal memiliki gaya penulisan yang khas, dekat dengan realitas sosial, dan sarat refleksi kehidupan.
Perjalanan Karier Puthut EA
Puthut EA lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 28 Maret 1977. Sejak remaja, ia aktif menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) yang dimuat di majalah Panjebar Semangat dan Jayabaya. Ketertarikannya pada dunia sastra semakin berkembang saat berkuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Selain aktif dalam dunia kepenulisan, Puthut juga terlibat dalam gerakan mahasiswa. Ia adalah salah satu pendiri Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), sebuah organisasi yang berfokus pada isu-isu sosial dan politik.
Dalam dunia literasi digital, Puthut dikenal sebagai Kepala Suku di Mojok.co, sebuah media online yang kerap menyajikan konten dengan gaya santai namun tetap tajam dalam analisis.
“Cinta Tak Pernah Tepat Waktu”, Karya Ikonik yang Melekat di Hati Pembaca
Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu pertama kali terbit pada Mei 2005 dan terus mengalami cetak ulang hingga saat ini. Buku ini menjadi salah satu karya paling laris dari Puthut EA, menghadirkan kisah yang begitu personal dan reflektif tentang cinta, kehidupan, dan ketakutan manusia dalam menghadapi masa depan.
Menggunakan sudut pandang orang pertama, novel ini menceritakan perjalanan seorang penulis bernama “Aku” yang terjebak dalam luka masa lalu. Ia menghadapi kegagalan cinta dan pergulatan batin dalam menemukan makna kebahagiaan sejati. Konflik utama dalam novel ini bukan hanya soal cinta, tetapi juga tentang perjalanan seorang aktivis mahasiswa yang harus berdamai dengan kenyataan pahit dunia politik.
Dengan alur maju-mundur, pembaca diajak menyelami pemikiran dan kegelisahan tokoh utama dalam memahami cinta dan kehidupan. Namun, detail yang terlalu berlebihan dalam deskripsi serta perubahan sudut pandang yang mendadak membuat beberapa pembaca merasa perlu usaha lebih dalam memahami jalan ceritanya.
Pesan Moral: Berdamai dengan Masa Lalu
Salah satu pesan utama dalam novel ini adalah pentingnya berdamai dengan masa lalu agar tidak menjadi belenggu dalam menjalani kehidupan saat ini. Kegelisahan dan keraguan yang dialami oleh tokoh utama menjadi refleksi bagi banyak orang yang kerap menunda kebahagiaan dengan alasan menunggu “waktu yang tepat”.
Bagi pecinta novel bergenre romansa dan reflektif, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu adalah bacaan yang layak untuk dinikmati. Kepekaan Puthut EA dalam menggambarkan sisi emosional tokohnya menjadikan novel ini memiliki daya tarik tersendiri, terlebih bagi mereka yang pernah mengalami pergulatan serupa dalam kehidupan nyata.
Leave a Reply