JAWA TIMUR– Kabupaten Jember mencatatkan jumlah dispensasi perkawinan anak tertinggi di Jawa Timur pada tahun 2023, dengan mayoritas pengajuan berasal dari anak berusia 15-19 tahun. Data dari Pengadilan Agama Jember menunjukkan bahwa ada 1.294 dispensasi perkawinan anak yang diajukan tahun lalu, melebihi Kabupaten Malang (936), Pasuruan (860), Lumajang (827), dan Kraksaan (775).
Pada tahun 2021 dan 2022, Jember berada di posisi kedua setelah Kabupaten Malang dengan masing-masing 1.379 dan 1.364 dispensasi. Menurut data Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, dispensasi terbanyak pada tahun 2023 diberikan untuk calon pengantin yang masih dalam masa pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dengan 6.103 dispensasi. Disusul oleh calon pengantin sekolah dasar (3.339), sekolah menengah atas (3.130), dan mereka yang tidak sekolah (439).
Di Jember sendiri, terdapat 1.343 dispensasi yang diajukan untuk calon pengantin berusia 15-19 tahun dan 21 dispensasi untuk calon pengantin di bawah 15 tahun.
Tri Wahyu Liswati, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, menilai tingginya angka dispensasi perkawinan anak lebih baik daripada pernikahan tidak tercatat. Sebagian besar dispensasi diajukan untuk menghindari zina (8.023 dispensasi), budaya atau adat (1.266), pergaulan bebas (877), dan ekonomi (39).
“Pemerintah tidak melarang pernikahan. Agama kita pun memperbolehkan jika sudah baligh atau berusia 19 tahun,” ujar Liswati dalam Rembuk Stunting di Pendapa Wahyawibawagraha, Kabupaten Jember, Selasa (28/5/2024). Namun, Liswati berharap pasangan pengantin anak menunda kehamilan hingga usia 21 tahun demi kesehatan ibu.
Liswati menyoroti perlunya advokasi bagi anak-anak usia sekolah terkait hubungan pranikah. Data Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat ada 2.775 dispensasi perkawinan anak pada 2023 dengan alasan kehamilan. “Hamil duluan berarti ada hubungan pranikah. Ini perlu advokasi dan pendampingan,” tegasnya.
Mengatasi faktor budaya yang mendorong dispensasi perkawinan anak juga membutuhkan peran tokoh agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.
DP3AK Jatim mencatat perkawinan anak berdampak serius terhadap kesejahteraan anak, terutama perempuan. Dari aspek kesehatan, perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat lebih besar meninggal saat persalinan, yang berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Dari aspek pendidikan, perkawinan anak seringkali menghentikan pendidikan formal mereka, membatasi akses terhadap pendidikan lebih lanjut, dan menghambat perkembangan keterampilan serta pengetahuan. Hal ini memperkecil peluang anak mendapatkan pekerjaan yang layak dan meningkatkan risiko kemiskinan berkelanjutan.
Aspek psikologis juga tak luput dari dampak negatif perkawinan anak. Sebanyak 41 persen kekerasan dalam rumah tangga dianggap wajar oleh pihak perempuan, dan mereka berisiko tinggi mengalami depresi, kekerasan fisik, seksual, serta isolasi sosial. Perkawinan anak membatasi pengalaman sosial dan psikologis mereka, serta menghambat perkembangan identitas pribadi dan hubungan interpersonal yang sehat.
Selain itu, DP3AK Jatim mencatat bahwa 40 persen pernikahan anak berisiko melahirkan anak stunting, berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, dan kematian bayi sebelum usia satu tahun. Anak yang dilahirkan sering kali menerima pengasuhan kurang berkualitas karena pasangan usia anak belum siap mengemban tanggung jawab orang tua.
Perkawinan usia anak juga memperkuat ketidaksetaraan gender dan siklus kemiskinan dalam masyarakat. Perempuan yang menikah pada usia dini memiliki keterbatasan dalam mengambil keputusan, mengontrol keuangan, dan menentukan pilihan hidup.
Dampak ekonomi dari perkawinan usia anak menghilangkan potensi peningkatan 1,70 persen produk domestik bruto. “Secara pendidikan, kesehatan, psikologis, anak belum siap semuanya, sehingga memicu tingginya angka perceraian, kematian ibu, dan kematian anak,” kata Liswati.
Liswati menekankan pentingnya pengawasan terhadap anak perempuan yang hamil agar memastikan mereka mengonsumsi tablet anemia yang diberikan oleh Dinas Kesehatan. “Harus dikawal benar untuk memastikan tablet anemia ini masuk mulut mereka,” pungkasnya.
Leave a Reply