MALANG – Krisdayanti, diva Indonesia yang juga sempat menjadi anggota Komisi IX DPR RI periode 2019-2024, kembali terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Batu pada Pilwali 2024. Meski popularitasnya di dunia hiburan sempat membantunya masuk ke parlemen, Krisdayanti gagal mempertahankan kursinya di DPR RI pada Pileg 2024.
Prof. Anang Sudjoko, pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya (UB), memberikan pandangan kritis mengenai kegagalan Krisdayanti di Pileg 2024. Menurutnya, ada dua faktor utama yang mungkin menyebabkan kekalahan tersebut.
“Pertama, terkait kemampuan Krisdayanti dalam merawat konstituen-konstituen yang selama ini mendukungnya. Jika dia memiliki kemampuan untuk merawat konstituen, tentu dia masih dipercaya untuk melenggang ke Senayan. Namun, kenyataannya tidak demikian,” ujarnya.
“Kedua, Krisdayanti dulu sempat dikenal sebagai ‘selebriti’ dalam pencalonan pemilu lima tahun lalu dengan popularitas tinggi. Namun, sekarang, sebagai artis, dia tidak lagi sepopuler dulu. Artinya, ketika dia menjadi anggota legislatif dan tetap menjalankan dunia keartisannya, hal itu tidak memberikan dampak signifikan dalam proses demokrasi pada pemilihan legislatif,” tambahnya.
Meskipun gagal di Pileg, Krisdayanti tidak menyerah dalam dunia politik. Dia kini mencalonkan diri sebagai Wali Kota Batu pada Pilwali 2024 dan telah menerima surat tugas dari DPP PDIP. Namun, apakah popularitasnya sebagai artis masih bisa membantunya memenangkan kontestasi Pilwali Batu?
Menjawab pertanyaan tersebut, Anang mengatakan peluang Krisdayanti meraih posisi Wali Kota Batu bergantung pada karakter pemilih di Kota Batu. “Kita harus melihat tipologi atau karakter masyarakat Kota Batu. Apakah mereka akan memilih hanya berdasarkan popularitas yang berujung pada elektabilitas?” ujarnya.
“Atau, masyarakat Kota Batu sudah memiliki literasi politik yang baik dalam memilih pemimpin yang tidak hanya mampu merepresentasikan keinginan mereka, tetapi juga memiliki kepemimpinan yang baik,” lanjutnya.
Prof. Anang menegaskan bahwa pengalaman Krisdayanti sebagai anggota legislatif belum tentu cukup sebagai bekal untuk memimpin pemerintahan. Tugas eksekutif, khususnya kepala daerah, jauh lebih kompleks dibandingkan tugas legislatif.
“Seorang eksekutif berbeda dengan legislatif. Legislatif hanya menyerap suara, menyampaikan, dan menegosiasi. Namun, berbicara tentang birokrasi, kepala daerah menghadapi tugas yang jauh lebih kompleks,” terangnya.
“Masalah integritas dan kapabilitas, saya melihat Krisdayanti belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menjalankan tugas tersebut,” tutupnya.
Leave a Reply